Namaku nadia, remaja berusia tujuh belas
tahun yang suka bunga. Bagiku, bunga adalah simbol keindahan. Rasanya bukan
rumah kalau tidak ada bunga di halamannya, Mungkin sebuah rumah, tapi kupikir
tidak pernah ada kehangatan di dalamnya. Rumahku tidak ada ayah, tapi karena
bunga aku tidak pernah merasa kedinginan. ya, minimal ada tanaman yang memberi
kesan hangat.
Semenjak masuk SMA, aku gencar memfollow
akun-akun florist di instagram dan
menghabiskan waktu untuk menilai bunga yang mana yang paling bagus.
Sampai-sampai lupa waktu belajar dan fokus mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan seni merangkai bunga.
Tok tok tok…
“Nad, jangan lupa ngerjain tugas! Belajar buat
UTBK !’’ Teriak ibu dari luar. Padahal ini hari sabtu, waktunya main-main
dan eksplor banyak hal. Tidak lama setelah itu suara motor yang dipanaskan terdengar, sebuah
pertanda kalau ibu akan segera berangkat ke pasar.
Ibu adalah sosok yang cerewet. Sejak kelas
dua belas, ibu jadi senang menghentikan aktivitas media sosialku dan menyuruhku
belajar.
Aku ingin jadi seorang floris, ibu ingin
aku menjadi seorang matematikawan. Aku menyenangi seni, ibu selalu memaksaku
untuk menyenangi matematika. Sebetulnya aku selalu muak kalau ibu sudah
membahas matematika. Karena matematika, hubungan kami jadi renggang. Aku jadi
sering menghindarinya, dan hanya bertemu ketika makan. Ibu dan aku jadi tak
saling cerita karena aku malas jika ujung-ujungnya cerita kami hanya akan
berakhir di matematika.
Puncaknya satu hari lalu, aku dipaksa ikut
bimbel yang biayanya selangit supaya bisa masuk jurusan matematika di
universitas terkenal di bandung. Penghasilan ibu mungkin kecil, tapi aku tahu
selama ini dia punya tabungan untuk pendidikanku. Aku memang tidak terlalu
bodoh dalam hal matematika, tapi rasanya tidak mungkin juga menghabiskan
seluruh hidupku dengan matematika.
Saat kami bertukar argumen, aku tidak
segan-segan meninggikan suara dan menyakiti hatinya. Kemarin kulihat matanya
sayu seperti kecewa melihat aku yang berani membentak, tapi ternyata sekarang
ibu sudah gencar lagi menyuruhku belajar.
Aku jadi berpikir, kalau ayah masih ada,
apa dia akan seperti ibu? Menutup telinga dengan mimpi-mimpiku dan memaksakan
mimpi-mimpinya?
***
Hari ini aku mendapat banyak chat dari
ibu, pesan-pesannya mengandung isi yang sama yaitu mengingatkanku untuk
berangkat bimbel. Aku merasa bimbel ini tidak akan pernah bekerja denganku yang
selalu merasa puas. Aku hanya akan penasaran dan tertarik jika ilmu seni yang
dipelajari.
Saat dengan gontai aku melangkah malas,
merita sahabatku datang dengan wajah sumringah. Dia berjinjit dan membisikkan
sesuatu.
“ Nad, ada yang mau ngajak jalan, tuh.”
Tangannya menunjuk ke arah remaja laki-laki yang sedang mengobrol dengan
temannya. Saat menengok, pandangan kami bertemu. Dia berjalan ke arahku.
Dia adalah aldi. Seorang yang biasa-biasa
saja menurutku. Kalaupun luar biasa, aku punya prinsip hidup untuk tidak
pacaran seperti remaja kebanyakan. Sudah lama aku tahu dia naksir, aku malas
saja meladeninya.
Merita berdeham tidak jelas menggoda,
sedangkan laki-laki dihadapanku terlihat kikuk. Dia memberanikan diri bertanya padaku,
“ Mau nonton sama gue, gak?’’ tanyanya.
Jujur aku tidak mau menonton apapun. Aku juga masih punya
kewajiban lain yang mesti ditunaikan. Rasanya jahat sekali kalau aku melanggar
kepercayaan ibu. Anehnya, responku malah bertentangan dengan hati dan logikaku.
‘‘Hmm… boleh, mau nonton apa ?’’ ucapku. Aldi seperti tak menyangka aku tak
menolaknya. Aku justru dibuat kaget dengan respon tersebut. Apa besar sekali ketidakinginanku untuk belajar, ya? tanyaku
dalam hati.
Tidak mau diambil pusing. Aku pergi ke
bioskop bersisian dengan aldi. Bolos bimbel. Kami memutuskan menonton film
remaja yang sedang booming akhir-akhir ini. aku tidak suka sebetulnya, tapi
keinginan untuk melarikan diri dari bimbel ternyata lebih besar pengaruhnya
dari sekadar ingin menonton film.
***
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam dan
hujan mengguyur sebagian dari belahan dunia. Aku diantar pulang aldi dengan
motor matic nya, yang membuatku tetap kebasahan walau memakai jaket.
Aku menggenggam kuat jaket sambil terus
memikirkan kemungkinan-kemungkinan respon ibu. Keputusan yang bodoh memang,
terlebih aku sama sekali tidak menikmati
acara nonton film tadi. Film nya terlalu datar, pun aldi nya terlalu
membosankan.
Saat motor sudah mendarat, lamunanku
buyar. Refleks mataku langsung menuju jendela, dan aku melihat ibu dengan
ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Tangannya bersedekap dan kalau aku tidak
salah lihat, matanya merah bekas menangis. Perasaan bersalah seketika memenuhi
relung hatiku.
Setelah motor aldi melaju, pintu rumah
terbuka. Aku melangkah deg-degan. Ibu menyambutku dengan omongan pedasnya.
“oh… sekarang sudah berani bawa cowok,
ya.” kata ibu. Matanya yang tajam mengintimidasiku.
“aku cuma nonton kok, bu.” kataku
ketakutan. Pasalnya, ibu gak pernah semarah ini. Melihat ibu diam, aku memutuskan
untuk ke kamar dan membiarkan ibu menenangkan pikirannya terlebih dahulu.
Baru berbalik satu langkah, tanganku dicekal
‘‘Oh…Bangga, udah ngehambur-hamburin uang
ibu.’’ Kata ibu sarkas, walau dengan nada tenang yang dibuat-buat. Kata-kata
nya sudah menyentuh area sensitifku. Aku benar-benar sakit hati.
‘‘aku gak pake uang ibu, ya buat nonton.’’
‘‘Tapi kamu udah sia-sia in bimbel cuma
gara-gara cowok.’’
Aku mengerang kesal, siapa juga yang minta
didaftarin bimbel. Dari awal semua ini gara-gara ibu yang gak mau menerima cita-citaku. Emosiku tersulut. Entah angin dari mana,
untuk pertama kalinya aku membentak dengan keras.
‘‘Pertama, aku gak pernah minta ibu untuk
daftarin bimbel. Kedua, aku kayak gini karena ibu yang gak pernah ngertiin. Ketiga,
jauh-jauhin harapan ibu buat punya anak matematikawan.’’ Kataku sambil berlalu
ke kamar dengan amarah, tidak memedulikan ibu. Aku membanting pintu dengan
keras, sebagai peringatan pada ibu kalau aku tersiksa dengan
harapan-harapannya.
Aku membanting tubuh yang berbalut seragam
basah dikasur, menutupi wajah dengan bantal. Hal yang tetrjadi selanjutnya
adalah aku menangis. Perasaan yang campur aduk. Entah menangis karena kecewa
pada ibu, atau pada diri sendiri karena sudah mengecewakan ibu. Kasur benar-
benar memanjakanku hingga enggan untuk bangkit da tertidur
***
Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Tempat
ini asing bagiku. Aku duduk di sebuah kursi kayu panjang. Saat menengok ke
depan, gerombolan anak yang memakai seragam putih abu berhamburan.
Mataku melotot ketika melihan remaja
perempuan yang tidak asing, orang itu potonya pernah kulihat pada album masa
kecil ibu. Dia adalah ibu saat remaja. Aku berdiri dan ingin menghampirinya.
Remaja perempuan itu memegang kertas, dan menampilkan
wajah sumringah. Dari obrolanya dengan sang teman, Aku tahu bahwa ibu
mendapatkan nilai sempurna di bidang matematika. Seketika aku merasa kesal
karena ibu menimpakan cita-citanya yang tidak tercapai padaku.
Aku mengikuti ibu sampai ke rumahnya. Wajah sumringah
yang tadi ditampilkan seketika hilang. Ibu marah-marah membentak kakek yang
tidak tahu malu mabuk dihadapan anak remajanya.
Bulir-bulir air berhasil lolos dari matanya. Kertas yang
dipegangnya ditarik dan dirobek.
‘‘ jangan mimpi kamu ! nggak usah belajar terlalu
serius ! lebih baik kerja, cari uang buat makan.’’ Bentaknya pada ibu.
Seketika air mataku juga luruh, tidak tahu betapa besar beban ibu pada saat
itu.
Ibu diam, tidak melawan, dan hanya
menangis tak bersuara. Ibu memungut kertas ulangannya dan melenggang ke kamar.
Tidak ada gunanya mendebat orang mabuk.
Di kamar, ibu menguatkan dirinya. Dia
menyambungkan kembali kertas ujian dan menempelnya di dinding kamar.
Aku menangis. Dari dulu aku tahu ibu adalah sosok yang
kuat. Sebagai anak, aku merasa bersalah. Saat cita-citanya tidak tercapai, aku
tahu ibu menaruh besar harapan padaku. Aku menyesal sudah membangkangnya. Saat
perasaan itu muncul, tiba-tiba saja ada yang menyilaukan mataku dan membuatku
terbangun.
Aku menggeliat, meraba mataku yang ikut basah padahal
kejadian tadi hanya ada di mimpi. Di luar, hari sudah siang. Aku menatap nanar
jam yang sudah menunjukkan pukul 08.30. cahaya matahari menembus jendela kamar
yang lupa kututup gordennya semalam.
Saat hendak bangkit, kepalaku tiba-tiba
pusing dan tertidur kembali. Suhu tubuhku panas. Menyadari tidur dengan seragam
basah membuatku berasumsi bahwa aku masuk angin.
Aku menggapai handphone yang jangkauannya
dekat dan menelepon nomor ibu. Diangkat tapi tidak ada suara. Seketika suasana
menjadi canggung.
‘‘Bu, aku minta maaf.’’ Ucapku. Jeda
sebentar, ibu membalas.
‘‘Maafkan ibu juga.’’
Suasana kembali canggung, aku tidak tahu
harus apa hingga satu kalimat tercetus.
‘‘Bu, aku demam. Ada obat gak?’’ tanyaku.
Hening sejenak, tidak ada jawaban. Tiba-tiba saja ibu menutup telepon. Aku
geleng-geleng kepala. Ibu pasti sedang menuju ke sini. Tanpa sadar aku
menitikkan air mata lagi, sesayang itu ibu padaku.
Bu, maafin
aku….
***
Sudah tiga puluh menit aku menunggu ibu, namun
tidak juga pulang. Kepalaku yang pusing, semakin pusing. Hari ini aku akan
membuat keputusan besar. Aku mau jadi matematikawan. Aku harap ibu senang
dengan keputusanku.
Tolong jangan hakimi aku karena sebetulnya
aku cukup berbakat di matematika, aku hanya tidak mau belajar keras saja. Kali
ini, demi ibu aku mau. Aku yakin sekali meski motivasiku menjadi matematikawan
tidak datang dari diri sendiri, besok-besok aku pasti bisa menikmatinya.
Sambil menunggu, aku membuka whatsapp
untuk mengecek pesan atau sekadar lihat-lihat status orang. Aku membuka status
pak ramli, salah satu warga di kampungku. Statusnya menampilkan sebuah
kecelakaan motor dengan drump truk. Aku begidik ngeri.
Saat akan menutup whatsapp, tiba-tiba saja
kepalaku memberikan sinyal atas apa yang baru saja dilihat. Baju itu…. Baju itu
terasa tidak asing di mata. Tanganku gemetar, membayangkannya saja rasanya
tidak kuasa. Keyakinanku bertambah penuh saat menangkap plat nomor yang
tergeletak.
Ibu…
Badanku terkulai lemas. Kenapa? Kenapa secepat ini ?
Kepalaku merekam kembali apa yang kulihat. Darah-darah
yang memenuhi jalanan, wajah yang sudah tak berbentuk, hingga baju yang
tersobek-sobek.
Aku menangis, berteriak sejadi-jadinya. Meluapkan kesedihanku hingga suaraku tak
lagi bersuara. Amukan demi amukan semakin menjadi, barang-barang tak lagi
terselamatkan. Hancur sudah duniaku.
sekali lagi, maafkan aku Bu….
Komentar
Posting Komentar